Abstrak
Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni serta menjadi tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terus menerus. Dengan demikian keluaran pendidikan akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Pendidkan teknohumanistik dalam
kurikulum 2013 di sekolah dasar dapat terlihat pada struktur kurikulum dalam
bentuk integrasi IPTEK ke semua tema pembelajaran baik menjadi suatu media
pembelajaran, sumber pembelajaran maupun alat pembelajarannya. Teknohumanistik
menjadi suatu media pembelajaran, sumber pembelajaran maupun alat pembelajaran
di implementasikan dalam pembelajaran yang berbasis pendekatan saintifik. Dengan demikian dalam
pendidikan teknohumanistik terintegrasi ke semua tema pembelajaran serta
diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa
dalam pembelajaran. Misalnya pengetahuan nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya,
kemauan, tanggungjawab, kebiasaan, disiplin, keberanian dan keteguhan hati,
pengambilan keputusan, dan ketekunan.
Kata Kunci : Kurikulum
2013, Saintifik dan Teknohumanistik,
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi kerap kali mengundang
suatu problematika pendidikan. Secara aksiologis perkembangan teknologi saat
ini ini bertujuan untuk kemaslahatan manusia, namun sering disalahgunakan, sehingga timbul
masalah yang dapat menyebabkan kemerosotan moral, pemahaman, dan nilai-nilai
kemanusian yang dapat mengakibatkan terjadinya prilaku-prilaku negatif diluar
dugaan atau prilaku yang tidak normatif seperti kekerasan pada anak, pelanggaran
HAM, pelecehan seksual serta prilaku-prilaku yang fatal bagi generasi bangsa.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Suatu realitas yang harus kita sikapi bahwa
pendidikan tidak hanya didasarkan pada penguasaan iptek saja, akan tetapi dapat
dikombinasi secara terpadu dengan nilai-nilai kemanusiaan agar pendidikan itu
menjadi bermakna (Natajaya dan Dantes. 2015). Pendidikan yang bermakna dalam
arti dapat memberikan setiap peserta didik memperoleh iptek, keterampilan, dan
nilai-nilai kemanusiaan sebagai bekal mereka untuk menghadapi tantangan masa depan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan kurikulum 2013 serentak di tanah air dilaksanakan berdasarkan landasan sosiologis, yaitu dikembangkan atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan rancangan dan proses pendidikan dalam rangka memenuhi dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana termasuk dalam tujuan pendidikan nasional. Dewasa ini perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perubahan ini karena berkembangnya tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terus menerus. Hal itu dimaksudkan agar pendidikan selalu dapat menjawab tuntutan perubahan sesuai dengan jamannya. dengan demikian keluaran pendidikan akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society).
Kurikulum 2013 yang Berbasis Pendidikan Karakter
Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi signifikan untu mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Kurikulum 2013 yang dikembangkan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrument untuk mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas yang mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab sesuai yang diharapkan dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Hilda Taba (dalam Eva, 2013) merencanakan kurikulum sebaiknya guru berpedoman pada apa yang akan dipelajari, kepada siapa diajarkan, apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa, dan urutan yang bagaimana. Karena itu perencanaan kurikulum bersifat dinamis, guru harus mampu melihat kebutuhan siswa sesuai dengan permasalahan yang muncul, baik segi kebutuhan individu, masyarakat, negara dan dunia. Pendidikan dengan adanya Kurikulum 2013 yang berbasis karakter memberikan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Selain pendidikan karakter, keterlibatan kearifan lokal dalam pendidikan sangat diperlukan, ini bertujuan untuk kembali lebih memperkenal budaya lokal dikalangan pelajar serta pengaplikasiannya ditengah masyarakat. Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya yang tidak bertentangan dengan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Untuk meningkatkan kefektifan sekolah dalam pendidikan karakter diperlukan berbagai perubahan. Perubahan dimaksud bukan hanya perubahan sekolah, tetapi perubahan terhadap lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan disekolah.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan kurikulum 2013 serentak di tanah air dilaksanakan berdasarkan landasan sosiologis, yaitu dikembangkan atas dasar adanya kebutuhan akan perubahan rancangan dan proses pendidikan dalam rangka memenuhi dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sebagaimana termasuk dalam tujuan pendidikan nasional. Dewasa ini perkembangan pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Perubahan ini karena berkembangnya tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terus menerus. Hal itu dimaksudkan agar pendidikan selalu dapat menjawab tuntutan perubahan sesuai dengan jamannya. dengan demikian keluaran pendidikan akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society).
Kurikulum 2013 yang Berbasis Pendidikan Karakter
Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi signifikan untu mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Kurikulum 2013 yang dikembangkan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrument untuk mengarahkan peserta didik menjadi manusia yang berkualitas yang mampu menjawab tantangan zaman yang selalu berubah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab sesuai yang diharapkan dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Menurut Hilda Taba (dalam Eva, 2013) merencanakan kurikulum sebaiknya guru berpedoman pada apa yang akan dipelajari, kepada siapa diajarkan, apa sebab diajarkan, dengan tujuan apa, dan urutan yang bagaimana. Karena itu perencanaan kurikulum bersifat dinamis, guru harus mampu melihat kebutuhan siswa sesuai dengan permasalahan yang muncul, baik segi kebutuhan individu, masyarakat, negara dan dunia. Pendidikan dengan adanya Kurikulum 2013 yang berbasis karakter memberikan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan lebih produktif. Selain pendidikan karakter, keterlibatan kearifan lokal dalam pendidikan sangat diperlukan, ini bertujuan untuk kembali lebih memperkenal budaya lokal dikalangan pelajar serta pengaplikasiannya ditengah masyarakat. Budaya lokal yang dimaksud adalah budaya yang tidak bertentangan dengan salah satu agama yang berlaku di Indonesia. Untuk meningkatkan kefektifan sekolah dalam pendidikan karakter diperlukan berbagai perubahan. Perubahan dimaksud bukan hanya perubahan sekolah, tetapi perubahan terhadap lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil pendidikan disekolah.
Pendidikan
karakter disebutkan sebagai pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu,
pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik
dan biasa melakukannya (psikomotor).
Thomas Lickona adalah salah satu yang mempopulerkan
konsep karakter dengan konsep “good
character (karakter mulia/baik)”, dalam pandangannya Lickona,
komponen-komponen karakter yang baik mencangkup sebagai berikut (dalam Dantes,
2012): moral knowing, moral feeling,
dan moral action. Dalam komponen “moral knowing” (pengetahuan moral) terdapat enam aspek, yaitu (1)
kesadaran moral (kesadaran hati nurani). (2) Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral), terdiri atas
rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang
lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas,
kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) Perspective-taking (kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang
lain, melihat situasi seperti apa adanya, membayangkan bagaimana dia seharusnya
berpikir, bereaksi, dan merasakan). (4) Moral
reasoning (pertimbangan moral) adalah pemahaman tentang apa yang dimaksud
dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) Decision-making (pengambilan keputusan) adalah kemampuan mengambil
keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. (6) Self-knowledge (kemampuan untuk mengenal atau memahami diri
sendiri), dan hal ini paling sulit untuk dicapai, tetapi hal ini perlu untuk
pengembangan moral.
Dalam
komponen ”moral feeling” (perasaan
moral), terdapat enam aspek penting, yaitu (1) conscience (kata hati atau hati nurani), yang memiliki dua sisi,
yakni sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi
(perasaan wajib berbuat kebenaran). (2) Self-esteem
(harga diri), dan jika kita mengukur harga diri sendiri berarti menilai diri
sendiri; jika menilai diri sendiri berarti merasa hormat terhadap diri sendiri.
(3) Empathy (kemampuan untuk
mengidentifikasi diri dengan orang lain, atau seolah-olah mengalami sendiri apa
yang dialami oleh orang lain dan dilakukan orang lain). (4) Loving the good (cinta pada kebaikan);
ini merupakan bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik dengan
kebaikan yang sejati. Jika orang cinta pada kebaikan, maka mereka akan
berbuat baik dan memiliki moralitas. (5) Self-control
(kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri), dan berfungsi untuk mengekang
kesenangan diri sendiri. (6) Humility
(kerendahan hati), yaitu kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau
diabaikan, pada hal ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik.
Dalam komponen ”moral action” (tindakan moral), terdapat tiga aspek penting, (1) competence (kompetensi moral), yaitu
kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dalam berperilaku
moral yang efektif; (2) will
(kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya
merupakan hal yang sulit; (3) habit
(kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan
benar.
Relevansi Kurikulum 2013 terhadap pembangunan pendidikan karakter terlihat pada siswa dalam mengembangkan
domain sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dituangkan dalam Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) baik tingkat SD, SMP maupun SMA/SMK yang selanjutnya
di uraikan dalam Kompetensi Inti (KI) yang terdiri dari KI sikap
spiritual, KI sikap sosial , KI pengetahuan dan KI keterampilan. Kompetensi
inti ini menjadi payung bagi semua tema pembelajaran yang diajarkan pada
jenjang sekolah tertentu. Kompetensi Inti ini selanjutnya dijabarkan di
masing-masing tema pembelajaran dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD) yang
meliputi KD yang berasal dari sikap spiritual, KD yang berasal dari sikap
social, KD yang berasal dari pengetahuan, dan KD dari keterampilan. Dalam
proses pembelajaran yang dilakukan guru terhadap siswa harus mencakup KD sikap
spiritual, KD sikap sosial, KD pengetahuan dan KD keterampilan sehingga
kompetensi yang berkembang dalam pribadi siswa tentu menyeluruh ari semua
domain sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Sejalan dengan apa yang
dibahas sebelumnya yang mengatakan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan, kurikulum 2013 menekankan
pada pembentukan sikap. Salah satu ciri kurikulum 2013 adalah selalaui
mengaitkan antar sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam satu konteks pembelajaran. Guru
menyampaikan materi dari KD yang berasal dari KI 3 yaitu unsur
pengetahuan, selanjutnya dikembangkan KD yang berasal dari KI 4 yaitu
unsur keterampilan, barulah di pikirkan sikap (KD yang berasal dari KI 1 dan 2)
apa yang akan dikembangkan melalui KD 3 dan KD 4 itu. Dengan demikian satu
proses pembelajaran berlangsung siswa akan mengembangkan aspek sikap,
pengetahuan dan keterampilan secara bersama-sama, artinya dengan kurikulum 2013
itu akan terbangun pendidikan karakter secara otomatis karena penanaman
nilai-nilai kehidupan (nilai-nilai karakter) terintegrasi dalam setiap proses
pembelajaran.
Pendidikan Dapat Menjawab Sebuah Tantangan Masa Depan
Kemajuan ilmu yang mendorong kemajuan teknologi telah
menyebabkan adanya banyak perubahan di segala bidang kehidupan. Perubahan ada
yang menguntungkan tetapi juga ada perubahan yang tidak menguntungkan. Semakin
maju suatu masyarakat semakin menuntut agar warganya mempunyai pengetahuan yang
memadai. Masyarakat yang lebih maju,
menuntut warganya belajar terus, belajar tanpa henti dengan kata lain
pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat bagi seseorang merupakan
peluang maju yang tiada batas. Pendidikan sepanjang hayat memberikan kesempatan
belajar secara wajar dan luas kepada setiap orang sesuai dengan perbedaan
minat, usia, dan kebutuhan belajarnya secara belajar kelompok (group learning), dan perorangan (individual learning), melalui ragam
media massa, ragam tempat belajar dan bentuk belajar (Hufad, A., dkk. 2008).
Selain pendidikan sepanjang hayat, perlu di tanamkan
mengenai pengembangan soft skills pada diri yang akan membantu untuk
mendapatkan suatu pendidikan yang baik. Pengembangan soft skills dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran (intrakurikuler) dan kegiatan diluar
pembelajaran (ekstrakurikuler). Pengembangan soft skills melalui kurikulum dapat
ditempuh dengan dua cara. Pertama, melalui kegiatan pembelajaran yang secara
ekplisit diintegrasikan dalam tema pembelajaran yang dituangkan dalam Silabus
dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Kedua, dapat dilakukan melalui
proses hidden curriculum, yaitu suatu
strategi pengembangan soft skills yang disampaikan oleh guru kepada peserta
didik secara terintegrasi pada saat pembelajaran berlangsung (Sudiana, 2012).
Pendidikan dapat menjawab
tantangan masa depan jika dalam suatu prosesnya dapat melahirkan individu-individu yang
berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup
dan berkiprah dalam era globalisasi. Pendidikan harus
berdasarkan lima pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning
to do, learning to be, learning to live together dan learning
to live sustainable (Dantes,
2012). Dengan demikian,
melalui pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu
yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan
teknologi untuk bekal dan kelangsungan hidupnya serta kelestarian lingkungan
alam tempat kehidupannya.
Perkembangan sains dan teknologi menjadi sangat penting
di dalam dunia pendidikan sekarang ini dalam rangka menjawab tantangan menuju
pendidikan abad ke-21. Penguasaan sains dan teknologi dari waktu ke waktu
membawa dampak yang sangat besar bagi dunia pendidikan. Semakin berkembangnya
sains dan teknologi, kadangkala menghasilkan suatu spesifikasi negatif baik
dalam penguasaan sains dan teknologi tersebut. Revolusi ilmu pengetahuan dan
teknologi, perubahan masyarakat, pemahaman cara belajar anak, kemajuan media
komunikasi dan informasi lainnya sebagai pemberi arti tersendiri bagi kegiatan
pendidikan. Tantangan tersebut menjadi salah satu dasar pentingnya pendekatan
teknologis dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran. Jadi kemajuan
teknologi di bidang pendidikan terutama menjadikan dunia pendidikan lebih mampu
mengoptimalkan berbagai potensi yang ada pada diri peserta didik.
Pada hahekatnya pendidikan yang akan menghasilkan suatu proses
pembelajaran yang diinginkan bisa menghadapi tantangan global, yaitu sebuah
gagasan sebuah inovasi yang menstransformasikan antara sains-teknologi dan nilai-nilai keadaban yang
didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan (Dantes, 2012). Pendidikan Teknohumanistik ini berlandaskan
pada tiga acuan dasar pengembangan
pendidikan (di Indonesia) yaitu, acuan
filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.
Acuan filosofis, didasarkan pada abstraksi acuan hukum
dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara
filosofis obyek forma pendidikan
adalah proses pemanusiaan manusia, sehingga harus memiliki karakteristik: (a)
mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; (b) mendukung
diseminasi dan nilai keunggulan, (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi,
kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; dan (d) mengembangkan secara berkelanjutan
kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral, dan semua
itu inheren dengan cita-cita pembentukan
masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yang disebut dengan masyarakat madani. Acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu
sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai
instrumental, sampai pada nilai operasional. Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan
lingkungan global.
Pelaksanaan pendidikan
teknohumanistik mengacu pada pendidikan karakter yang efektif, yang prinsipnya
adalah sebagai berikut (Dantes, 2012): (1) pendidikan teknohumanistik hendaknya
mengembangkan ”Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter
kemanusiaan yang baik; (2) karakter dan pendidikan teknohumanistik, harus
didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam
program pendidikan karakter sebagai inti pendidikan teknohumanistik yang
umumnya menyentuh ranah kognitif, afektif, psikomotorik dan metakognitif
mengandung makna yang lebih luas, dan akhirnya dapat menyangkut aspek perilaku
dalam kehidupan moral; (3) kaitannya dengan pendidikan formal, pendidikan
teknohumanistik yang efektif menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan
melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua
tahap kehidupan sekolah; (4) sekolah harus menjadi ”a
caring community”, sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai
lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik; (5) untuk mengembangkan
karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berperilaku moral; (6)
pendidikan teknohumanistik yang efektif harus melibatkan kurikulum akademik
yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan
membantunya untuk mencapai hasil belajar; (7) pendidikan teknohumanistik
hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik;
(8) staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi
masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada
pendidikan karakter dan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan
dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang
dapat membimbing dan dipedomani oleh para peserta didik; (9) pendidikan
teknohumanistik meminta kepemimpinan moral dari staf dan para peserta didik;
(10) sekolah mesti melibatkan orang tua dan anggota-anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembentukan
dan pengembangan nilai-nilai tentang harkat kemanusiaan peserta didik; dan penilaian
pada pendidikan teknohumanistik hendaknya mengukur komitmen dan kondisi
sekolah, berfungsinya staf sekolah sebagai pendidik-pendidik teknohumanistik
dan diperluas pada penampilan karakter yang baik pada para peserta didik.
Pendidikan teknohumanistik seyogyanya dapat dilakukan
secara komprehensif di sekolah-sekolah dalam suatu proses pembelajaran, karena
pendidikan teknohumanitik terdapat tiga tujuan yaitu penguasaan iptek,
kebijakan dan kebaikan (Natajaya dan Dantes, 2015). Pendidikan teknohumanistik
diharapkan mampu mengembangkan Iptek dalam dunia pendidikan sebagai suatu perspektif
pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai karakter terutama memacu
nilai-nilai inti (core ethical values)
bagi siswa sekolah dasar dalam halnya pendidikan teknohumanistik yang
berbasis karakter.
Pendidikan Tekhnohumanistik dalam Kurikulum 2013 di
Sekolah Dasar
Pendidikan Teknohumanistik yang telah diuraikan diatas,
hendaknya mengembangkan dan menjadikan karakter sebagai basis dari pendidikan
itu sendiri. Mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan teknohumanistik yang gagas
oleh Nyoman Dantes, mengharapkan Pendidikan Teknohumanistik sebagai suatu model
trobosan menuju pendidikan masa depan yang dapat mencapai tujuan pendidikan
nasional secara utuh dan mencerdaskan anak bangsa. Pendidikan teknohumanistik
ini bisa dilaksanakan secara komprehensif dalam penerapan kurikulum 2013,
terutama dalam kurikulum 2013 di Sekolah dasar. Internalisasi pendidikan
karakter sebagai inti Pendidikan Teknohumanistik harus menyentuh ranah
kognitif, afektif, psikomotor dan metakognitif mengandung makna yang lebih
luas, dan akhirnya dapat menyangkut aspek prilaku dalam kehidupan moral.
Kaitanya dengan pendidikan formal,
Pendidikan Teknohumanistik yang efektif menuntut niat yang
sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu
nilai-nilai inti (core ethical values) pada semua tahap kehidupan
sekolah.
Jika dilihat dari kurikulum 2013, secara umum kurikulum
ini menginginkan adanya perspektif global di dalam suatu proses pembelajaran.
Terlebih adanya tuntutan masyarakat duni dalam berbagai bidang yang menuntut
solusi yang tepat dari bidang pendidikan yang pada akhirnya Teknohumanistik ini
yang notabene transformasi IPTEK yang humanis dijadikan suatu pilar karena
memiliki kontribusi yang sangat besar bagi perspektif global.
Pada kurikulum 2013, pendidikan nasional di desain
sebagai upaya mewujudkan generasi bangsa yang beriman, berakhlak mulia, percaya
diri, bertanggung jawab serta membentuk pribadi yang menguasai IPTEK,
berbudaya, berwawasan kemanusian dan kebangsaan yang peduli lingkungan.
Struktur kurikulum 2013 di sekolah dasar, IPTEK itu tidak menjadi salah satu
tema pembelajaran yang berdiri sendiri, berkenaan dengan penerapan kurikulum
2013, IPTEK diintegrasikan pada semua tema pembelajaran. Artinya, meskipun
tidak dicantumkan secara langsung, namun dalam bentuk keterampilan menggunakan
peralatan IPTEK untuk kelancaran proses pembelajaran. Seperti penggunaan media
pembelajaran, alat pembelajaran, dll.
Pendidikan Teknohumanistik yang telah diuraikan bahwa
prinsip pendidikan teknohumanistik yang efektif harus melibatkan kurikulum
akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik
dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Menantang dan bermakna yang
dimaksud, dalam sistem pembelajarannya dipakai pendekatan active learning yang mendorong siswa untuk mengamati (observing), menanya (questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), membentuk jejaring (networking), dan mencari tahu (Discovery).
Sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam kurikulum
2013, implementasi kurikulum 2013
berbasis pendekatan saintifik. Pendekatan
Saintifik dalam Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran
yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui
metode ilmiah dalam menyentuh tiga ranah yaitu sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Berdasarkan teori Dyer (dalam Abdullah, 2015), pendekatan
saintifik (scientific approach) dalam pembelajaran yang memiliki komponen
proses pembelajaran antara lain; 1) mengamati; 2) menanya; 3)
mencoba/mengumpulkan informasi; 4) menalar/asosiasi, dan membentuk jaringan
(melakukan komunikasi).
Pembelajaran dengan
pendekatan saintifik, ranah sikap mencangkup transformasi substansi atau materi
ajar agar anak didik “tahu mengapa”. Ranah keterampilan mencangkup substansi
atau materi ajar agar anak didik “tahu bagaimana”. Sedangkan ranah pengetahuan
mencangkup transformasi substansi atau materi ajar anak didik “tahu apa”. Permendikbud No.67 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah menjelaskan bahwa Kompetensi inti dirancang seiring dengan meningkatnya usia
peserta didik pada kelas tertentu. Melalui kompetensi inti, integrasi vertikal
berbagai kompetensi dasar pada kelas yang berbeda dapat dijaga. Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi
sebagai berikut: 1) Kompetensi Inti-1 (KI-1)
untuk kompetensi inti sikap spiritual; 2) Kompetensi
Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial; 3) Kompetensi Inti-3
(KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan; dan Kompetensi
Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.
Dengan demikian persepektif teknohumanistik dalam
kurikulum 2013 di sekolah dasar, muncul dan terintegrasi dalam semua tema
pembelajaran, baik dalam penggunaan media pembelajaran, sumber pembelajaran
maupun peralatan teknologi. Selain itu dalam pendidikan teknohumanistik yang
efektif harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, hal
itu di internalisasi ke dalam kurikulum 2013 berbasis pendekatan saintifik.
Sehingga dalam pendidikan teknohumanistik dapat menumbuhkan nilai-nilai yang
dapat membentuk karakter siswa dalam pembelajaran. Misalnya pengetahuan
nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya, kemauan, tanggungjawab, kebiasaan,
disiplin, keberanian dan keteguhan hati, pengambilan keputusan, ketekunan, dll.
Kesimpulan
Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta
menjadi tuntutan baru dalam masyarakat, dunia kerja, dan dunia ilmu pengetahuan
yang berimplikasi pada tuntutan perubahan kurikulum secara terus menerus.
Dengan demikian keluaran pendidikan akan mampu memberikan kontribusi secara
optimal dalam upaya membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society). Relevansi Kurikulum 2013 terhadap pembangunan pendidikan karakter terlihat pada siswa dalam
mengembangkan domain sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dituangkan dalam
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) selanjutnya di uraikan dalam Kompetensi Inti
(KI) yang terdiri dari KI sikap spiritual, KI sikap sosial , KI
pengetahuan dan KI keterampilan. Dengan demikian kurikulum 2013 itu akan terbangun
pendidikan karakter secara otomatis karena penanaman nilai-nilai kehidupan
(nilai-nilai karakter) terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran.
Pada hahekatnya pendidikan yang akan menghasilkan suatu proses
pembelajaran yang diinginkan bisa menghadapi tantangan global. Seiring dengan
perkembangan sains dan teknologi yang semakin pesat, dengan adanya gagasan
pendidikan teknohumanistik dapat menjawab tantangan masa depan. Dengan adanya
pendidikan teknohumanitik diharapkan mampu mengembangkan Iptek dalam dunia
pendidikan sebagai suatu perspektif pendidikan yang mengintegrasikan
nilai-nilai karakter terutama memacu nilai-nilai inti (core ethical values)
bagi siswa sekolah dasar dalam halnya pendidikan teknohumanistik yang berbasis
karakter.
Perspektif pendidikan teknohumanistik dalam kurikulum 2013
di sekolah dasar terdapat pada struktur kurikulum dalam bentuk integrasi IPTEK ke
semua tema pembelajaran baik menjadi suatu media pembelajaran, sumber
pembelajaran maupun alat pembelajarannya. Teknohumanistik menjadi suatu media
pembelajaran, sumber pembelajaran maupun alat pembelajaran di implementasikan
dalam pembelajaran yang berbasis pendekatan saintifik.
Dengan demikian dalam pendidikan teknohumanistik diharapkan dapat
menumbuhkan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter siswa dalam pembelajaran.
Misalnya pengetahuan nilai-nilai moral, nilai-nilai budaya, kemauan,
tanggungjawab, kebiasaan, disiplin, keberanian dan keteguhan hati, pengambilan
keputusan, dan ketekunan.
Daftar Pustaka
Abdullah, R. S. (2015). Pembelajaran Saintifik Untuk
Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Dantes, N. (2012). Techno-humanistic-based
Charecter Education (A. Series of Perspektives and Education Policies for
Meeting Global Challages: The Asian Conference on Education 2012
Official Conference Proceedings. Osaka, Japan: The Internasional Academic
Forum.
Eva, M. M. (2013). Kurikulum yang Berkarakter. JUPIIS
Volume 5 Nomor 2, Desember 2013.
Hufad, A., Jhoni, R.
P., & Sardien, S. (2010). Studi Tentang Implementasi Program Belajar Sepanjang Hayat di Indonesia: Seminar Internasional Pendidikan Luar Sekolah di Bandung Tanggal 29 November 2010. Bandung: Prodi PLS-SPS
UPI.
Natajaya, I. N. dan N. Dantes. 2015. Perancangan Model Transformasii
Pendidikan Teknohumanistik yang terintegrasikan dengan Pembelajaran Tematik di
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Indonesia, Vol 4, No. 1, 599-611.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 65
Tahun 2013 Tentang tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 67
Tahun 2013 Tentang tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Sudiana, I. K. (2012). Upaya Pengembangan Soft Skills Melalui
Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Untuk Peningkatan Aktivitas dan
Hasil Belajar Mahasiswa Pada
Pembelajaran Kimia Dasar. Jurnal
Pendidikan Indonesia, Vol. 1, No. 2, Oktober 2012.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional